Untuk membangun kesadaran masyarakat akan warisan budaya daerah, harus menjadi bagian dari program terstruktur. Lebih-lebih dalam membangun literasi kebudayaan. Mengingat sekarang ini, tingkat kesadaran masyarakat akan warisan budaya daerah kian mengikis.
Nalarnews.id, Samarinda – Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kaltim, kerap terganjal berbagai kendala dalam mendaftarkan kebudayaan daerah sebagai warisan budaya tak benda (WBTB). Sebab, Kaltim ternyata minim literasi sebagai bahan untuk menelusuri kebudayaan itu sendiri.
Sehingga, tidak semua kebudayaan daerah yang ada di Kaltim, dapat serta merta di daftarkan sebagai WBTB ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI. Semua kebudayaan tersebut, harus memiliki kriteria dan literasi sebagai syarat utama untuk penetapan sebagai warisan budaya tak benda.
Hal ini diungkapkan oleh Kepala Bidang Kebudayaan, Disdikbud Kaltim, Yekti Utami. Ia menyampaikan, bahwa hingga saat ini pihaknya masih cukup kesulitan mencari tulisan tentang kebudayaan Kaltim.
”Makanya sekarang ada program penulisan atau pengkajian. Untuk menambah literasi mengenai kebudayaan di Kaltim. Karena kerapkali kami memperoleh tulisan ilmiah mengenai kebudayaan di Kaltim dari universitas luar daerah, bukan dari Kaltim,” ungkapnya.
Minimnya Jejak Digital Jadi Kendala Pelestarian Warisan Budaya Daerah
Kemudian, pihaknya juga terkendala dalam menemukan jejak digital berupa foto atau video. Sehingga, terkadang bidang kebudayaan harus turun tangan langsung untuk menelusuri asal muasal kebudayaan yang ada di Kaltim.
Seperti tarian kuda gepang dari Muara Muntai, Kabupaten Kutai Katanegara (Kukar), yang akan Disdikbud Kaltim daftarkan sebagai WBTB. Meski telah memiliki bukti literasi, namun karena tidak ada video, maka pihaknya harus melakukan pengambilan gambar secara mandiri.
“Pendaftaran WBTB memerlukan kajian ilmiah, video, dan foto,” sebutnya.
Selain itu, kerapkan bukti lain berupa foto juga sulit pihaknya dapatkan. Yang membuktikan bahwa kebudayaan tersebut memang budaya asli Kaltim. Sementara bukti tersebut sangat penting untuk melihat bagaimana perubahan atau regenerasi kebudayaan dari masa ke masa.
“Serta untuk mengetahui akulturasi budaya dengan siapa. Ternyata kuda gepang ini akulturasinya dengan Kalimantan Selatan, bukan dari Jawa. Kudanya pun dari kaleng. Ceritanya pun sangat beda. Hal-hal seperti itu perlu kita ketahui terlebih dahulu,” bebernya.
Minimnya Anggaran Pun Jadi Penghambat Pendataan
Sementara pihak kabupaten/kota untuk melakukan pengkajian terhadap kebudayaan pun memiliki kendalanya sendiri. Seperti kekurangan anggaran, kemudian banyak pula yang tidak memahami cara melindungi kebudayaan daerah.
Meskipun ada yang paham, kemudian terjadi rotasi jabatan sehingga ada perubahan tupoksi pekerjaan dan sebagainya. Di sisi lain, Disdikbud Kaltim juga memiliki keterbatasan, sehingga belum dapat menjangkau keseluruhan kebudayaan yang ada di Kaltim. Misal, melakukan penelitian di Kutai Barat yang juga kaya akan budaya.
“Kami ini sebenarnya membantu. Sebab, apabila menunggu saja dari kabupaten/kota, khawatirnya kebudayaan tersebut akan hilang atau di klaim pihak lain. Itu akan sangat kita sayangkan,” ujarnya. (*/dns/red2)