Nalarnews.id, Jakarta – Tak banyak sutradara yang mampu membuat proyek sekuel sama bagus atau bahkan lebih baik dari prekuelnya. Joko Anwar membuktikan diri dia adalah satu dari sedikit sutradara tersebut melalui Pengabdi Setan 2: Communion.
Proyek sekuel biasanya menjadi mimpi buruk atau setidaknya menjadi tembok tinggi besar bagi seorang sineas. Tantangannya banyak, mulai dari ekspektasi penonton hingga nasib dibandingkan dengan proyek sebelumnya.
Apalagi, proyek sebelumnya sesukses Pengabdi Setan (2017) yang bisa dibilang sebagai barometer film horor Indonesia era milenium, baik secara kesuksesan komersil maupun secara kualitas narasi juga sinematik.
Kini Pengabdi Setan 2: Communion berhasil terbang melampaui tembok tinggi besar itu, sama seperti ketika Ibu terbang mundur ke langit-langit ruangan gelap, membawa kembali pengalaman horor serupa yang pernah ada lima tahun lalu.
Sebagai penulis dan sutradara saga Pengabdi Setan era modern, Joko Anwar tahu persis bagaimana membawa kisah teror Ibu ke layar lebar. Mulai dari narasi cerita keseluruhan, pembabakan, jumpscare, permainan kamera, fokus adegan, bentuk penampakan setan, hingga permainan audio untuk mempermainkan emosi juga detak jantung penonton.
Secara cerita keseluruhan, Pengabdi Setan 2: Communion sebenarnya masih serupa dengan versi sebelumnya. Joko Anwar menggunakan dasar formula yang mirip.
Mulai dari kisah Rini sebagai pembuka, kemudian pergolakan dalam keluarga Suwono, teror-teror kecil, adegan-adegan sederhana yang creepy, horor yang meneror, sisipan humor untuk relaksasi sesaat, hingga dialog religius mengikuti format horor dekade ’80-an tapi punya pesan satire khas Joko Anwar di dalamnya.
Pembabakan itulah yang membuat penonton Pengabdi Setan 2: Communion –yang sebagian besar pasti penonton pada 2017– merasakan sensasi serupa dari lima tahun lalu. Sebuah rasa yang akrab dan membuat otak meyakini bahwa ia akan kembali menyambut horor dan adrenalin yang pernah ada.
Meski masih pakai formula dasar yang sama, Joko Anwar membuat keputusan tepat dengan mengeksplorasi cerita dan eksekusi visual untuk Pengabdi Setan 2: Communion. Cerita pada sekuel ini lebih kaya, kompleks, dan tentu saja memperluas kisah yang disebut penggemar berat sineas ini sebagai “Joko Anwar Universe”.
Kisah dalam Communion kini bukan hanya soal keluarga Suwono ataupun sekte sesat nan misterius, tetapi juga permasalahan dalam komunitas yang memiliki kehidupan serupa alias komuni, yang terwakili lewat penghuni rumah susun itu.
Sudah jadi rahasia umum Joko Anwar dikenal menyisipkan masalah sosial dan dialog satire dalam film-filmnya, begitu pula dalam Communion.
Namun sisipan tersebut tidak lantas menjadikan film ini sebagai film “sok SJW”, melainkan menambah bobot dari sebuah film horor Indonesia yang biasanya hanya berisi jumpscare, audio mengerikan, serta jerit-jerit dan kejar-kejaran para karakternya.
Ambil contoh ketika Joko Anwar menyinggung soal orang tua yang kasar dan anak yang justru lega ketika orang tuanya meninggal, atau ketika pandangan remeh terhadap perempuan karena pakaian juga pekerjaannya, hingga perbedaan sudut pandang “masalah hidup dan mati” antar masing-masing individu.
Setelah cerita yang dibuat semakin eksploratif dan luas, Joko Anwar juga bermain-main dengan gaya visual sehingga membuat Pengabdi Setan 2 Communion jelas terasa berbeda dari pendahulunya.
Kengerian di Visual yang Sederhana
Communion punya kengerian yang lebih terasa berkat penyajian visual sederhana, tapi akrab bagi penonton. Mulai dari pencahayaan, imaji kengerian akan pocong dan setan kecelakaan, hingga emosi yang ikut terpancing berkat permainan sorot kamera.
Tepat bila Pengabdi Setan 2 Communion memutuskan menggunakan minim pencahayaan dalam latar rusun yang mati lampu di tengah hujan badai. Kegelapan yang ditampilkan terasa akrab bagi penonton yang pernah paranoid karena sendirian berada di rumah yang mati listrik di tengah hujan lebat kala malam.
Kegelapan dalam Communion ini juga berbeda dari kebanyakan film-film horor lokal lainnya. Film lainnya juga banyak menampilkan cerita mati listrik, tapi biasanya mata penonton masih melihatnya sebagai “terang” atau setidaknya “cukup terang”, meski pemain mengatakan “aduh gelap banget, enggak bisa lihat”.
Dalam Communion, Joko Anwar memutuskan menggelapkan layar sampai taraf blackout. Ini membuat otak penonton mendadak dihujani adrenalin karena ikut merasakan “mati lampu” dan cemas dengan apa yang akan terjadi berikutnya.
Belum lagi dengan permainan scoring demi mendukung visual dan narasi yang tersaji. Akan tetapi, scoring dalam Pengabdi Setan 2 Communion ini juga bisa jadi pengecoh bagi penonton yang sudah menyiapkan diri menyambut jumpscare.
Oleh karena itu, pujian mesti saya berikan kepada tim efek visual, desain produksi, tata suara dan musik, juga tata kostum dan rias yang mendukung penuh narasi creepy dari Joko Anwar. Tanpa mereka, imaji mengerikan Joko Anwar tidak bisa terwujud secara gamblang di depan layar.
Satu hal lainnya yang terasa berbeda dalam Communion dari Pengabdi Setan (2017) adalah soal permainan kamera dan sinematografi. Ical Tanjung juga ikut dengan Joko Anwar untuk mengeksplorasi lebih dalam proyek ini.
Hasilnya pun tidak sia-sia. Gaya kamera baru yang digunakan dalam Communion menjadi penyegaran dalam menarasikan cerita Pengabdi Setan. Meski dalam beberapa bagian, adegan yang tersaji mengingatkan saya dengan film horor lain semacam Gonjiam (2018).
Meski Communion secara umum lebih baik dari Pengabdi Setan (2017), beberapa referensi dalam cerita sekuel ini tampaknya masih luput dari kejelian Joko Anwar, seperti penggunaan nama lembaga yang tidak sesuai dengan latar waktu cerita hingga beberapa efek visual yang masih belum mulus.
Akan tetapi hal itu masih bisa dibilang wajar bila dibandingkan dengan bobot dan upaya Joko Anwar dan tim menghadirkan kelanjutan Pengabdi Setan yang baru, tapi masih terasa statusnya sebagai sebuah sekuel.
Sehingga, saya akan sangat heran sekali bila Pengabdi Setan 2 Communion tidak mendapatkan pengakuan dalam festival film, baik secara cerita, produksi, kostum, sinematografi, hingga tata musik.
Namun yang lebih penting adalah, dengan hasil kerja keras Joko Anwar dan tim ini, Pengabdi Setan 2 Communion jelas meninggikan standar baru penyajian kisah horor di layar lebar Indonesia yang sebelumnya sudah terdongkrak Pengabdi Setan (2017).
Pengabdi Setan 2 Communion jadi bukti teranyar bahwa film horor Indonesia bisa memiliki kualitas sinematik yang baik dan bisa bersaing ketat dengan negara horor lainnya seperti Thailand, Korea, atau Jepang.
Kualitas macam inilah yang dinantikan dengan penuh kesabaran oleh para penggemar film horor di Indonesia, dan akan menjadi tolok ukur penonton dalam menilai karya horor dari sineas juga studio lokal.
Harapannya, sineas dan studio lokal yang lain juga bisa ikut meninggikan standar usaha serta kualitas mereka dalam membuat film, dalam hal ini horor. Sehingga, fakta Indonesia yang memiliki kekayaan horor melimpah ini bisa diakui dan terekam baik dalam gambar bergerak. (cnnindonesia/Endro Priherdityo/r1)